Xenoglosofilia; Aku padamu, Uda!
August 13, 2018
Buku bersampul
warna nyeter yang sedang kubaca pagi itu
memasuki halamannya yang terakhir. Halaman 214 yang memuat riwayat singkat si
penulis, Ivan Lanin lengkap dengan foto bergaya eksekutif muda. Jarang loh profil penulis
dikasih foto sementereng ini. Coba bandingkan saja.
Buku tadi
judulnya “Xenoglosofilia: Kenapa harus nginggris?”. Secara kata, jelas sangat
menarik. Orang langsung terpikat dengan ejaan kata xe.no.glo.so.fi.lia yang
terdengar ilmiah sekali. Sebelum membaca, saya pun googling dan menemukan arti bahwa xenoglosofilia berarti
kecenderungan menggunakan kata-kata yang aneh atau asing. Ternyata judul buku
itu merupakan satu topik bahasan tersendiri di dalamnya dan mewakili keresahan
berbahasa yang Uda rasakan. Betapa maraknya orang-orang menggunakan istilah
asing. Ya persis lagunya mas Krisyanto lah. Asal British. Eh tapi ini bukan
kesalahan lho ya. Hanya keresahan seorang Uda yang sangat cinta bahasa Indonesia.
Orang-orang itu nggak salah sama sekali karena sebagian memang belum tahu, dan
sebagian lain merasa levelnya lebih tinggi ketika menggunakan kata-kata asing
itu. Sebut saja which is, hectic, bill,
hashtag, online-offline, dan banyak lainnya. Memang tidak bisa dimungkiri
(dari kata dasar mungkir Gaes) kalau pengaruh
semakin modern dan globalnya kehidupan saat ini membuat istilah asing tertentu
menjadi lebih mudah dipahami dibandingkan dengan padanan kata dalam bahasa
Indonesia.
Saya ulangi sekali
lagi deh, penggunaan kata-kata itu
tidaklah salah. Justru semakin sering sebuah kata dituturkan akan semakin besar
pula kemungkinan kata itu terserap menjadi kata baru. Dalam buku ini
dicontohkan kata “skedul”. Meskipun sudah sejak lama ada padanan kata untuk
kata schedule yaitu jadwal, namun
karena banyak dituturkan akhirnya muncullah lema “skedul” di KBBI V yang
diartikan daftar perincian waktu yang direncanakan; jadwal. Lucu ya, hehe.
Lalu, bagaimanakah
sebuah kata serapan bisa terbentuk di tengah begitu dinamiknya dunia
perbahasaan kita? Masih menurut Uda, kata serapan bisa diartikan kata yang terbentuk dari bahasa asing
termasuk bahasa daerah. Jadi nggak cuma yang bau-bau inggris ya. Kata-kata asing tersebut bisa
diubah sesuai pelafalannya dalam bahasa Indonesia, contohnya pedantic yang diserap menjadi pedantis
yaitu terlalu peduli dengan aturan formal dan remeh-temeh seperti Uda yang
sangat gigih dengan aturan berbahasa. Yang kedua adalah dengan
mengartikannya seperti mouse yang
diserap menjadi kata tetikus. Yag ketiga adalah dengan pedekatan makna dan
mencari padanan kata berbahasa Indonesianya seperti hyperlink yang diterjemahkan menjadi pranala yang berakar dari bahasa
Kawi yang berarti anak sungai atau saluran. Oya, untuk mencari padanan kata
atau istilah baru, kita bisa merujuk juga ke bahasa daerah.
Asyiknya lagi, buku
ini terdiri dari tiga chapter bagian. Bagian pertama adalah memunculkan masalah dengan membahas kata-kata dan
padanannya yang sering kita gunakan sehari-hari. Bagian kedua adalah
pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul terkait kebahasaan, jadi semacam FAQ. Nah, bagian terakhir
sebenarnya masih sejenis dengan bagian kedua namun lebih spesifik mana benar
dan salahnya sebuah ejaan atau kata. Kelebihan lain dari buku ini adalah
kemasannya. Meskipun yang dibahas adalah persoalan bangsa, tapi dikemas dalam
penuturan yang asyik cara Uda yang kadang kala disisipi dengan lelucon garingnya
yang khas. Bukan, maksud saya lelucon yang lempeng. Pergantian tiap bahasan pun
dibuat berwarna dengan grafis-grafis sederhana atau dengan tipografi kutipan
dari bahasan yang menarik. Tata letak penulisannya pun unik. kalau umumnya
sebuah buku menerapkan rata kanan kiri, buku ini hadir dengan rata kiri saja
dan ukuran huruf yang cukup besar sehingga satu lembar hanya berisi tiga hingga
empat alinea. Nah, pada akhir pembahasan, Uda hampir selalu membuat simpulan atau
pernyataan yang memotivasi untuk mengikuti jejaknya dalam berbahasa Indonesia
yang baik dan benar. Yakin deh, setelah membaca buku ini, kita akan mengenal
lema-lema baru yang keren untuk diucapkan, yang lebih mangkus dibanding harus
melafalkan dalam bahasa asing yang kadang belibet
itu. Sila dicoba.
Ah, pokoknya aku
padamu lah Uda. Tabik!
(NF)
0 komentar