Berani Mengubah !
November 28, 2013
Ronggowarsito punya kalimat hebat seperti ini,
Saiki jamane jaman edan
Yen ora edan ora
keduman
sak bejo bejone wong
kang edan
isih bejo wong kang
eling lan waspada
Terserah orang akan merespek ini atau tidak, namun saya merasa harus
menulisnya. Minggu lalu selepas ujian, saya jadi berfikir panjang. Jauh
kedepan. Bahkan sampai hari ini. Mungkin hingga hari-hari kedepan. Bukan, ini
bukan tentang soal ujian yang diluar dugaan. Soal ujian hanya separuhnya saya
kerjakan dengan yakin. Sisanya, berdasar logika dan kuatnya feeling. Beruntungnya,
Tuhan menghendaki saya lolos. Alhamdulillah...
Begini. Setiap orang, tentu pernah melewati sebuah ujian dalam arti
ujian tertulis. Menjawab soal dengan tulisan dikertas. Hal yang sama yang saya
rasakan dari semua situasi ujian itu adalah, kecurangan. Saya pernah curang, dulu bahkan sering. Membuat contekan panjang dan menyimpannya dikotak pensil,
pernah. Menuliskan banyak rumus di selembar tisu, pernah. Memasukkan buku ke
dalam laci, pernah. Menuliskan banyak kata kunci di meja, pernah. Melihat alfa-link
dari lubang lubang dimeja, pernah. Membawa handphone dan menyebarluaskan
jawaban, pernah. Ada yang salah dengan saya? Tidak ! apakah bisa disebut salah
jika banyak orang melakukannya bahkan mengulangnya? Apakah dikatakan salah jika
pengawas mendiamkan dan berpura-pura membaca koran? Apakah disebut salah jika
aturan ujian tak pernah dibacakan dan sekedar dibiarkan, dibawa kesana-kemari, rapi di dalam map?
Saya yang kala itu pelaku, menganggapnya lumrah...
Kala itu. Ya, kala itu. Sejak memasuki bangku kuliah, segalanya saya
paksakan berubah. Memang harus dipaksa, kawan. Kebaikan tidak datang begitu
saja. Hei ingat, syurga itu di atas, butuh energi untuk mencapainya.
Anda pernah mendengar dosa berantai? Bukan dosa turunan. Mudahnya
seperti ini, seorang anak SD curang waktu ujian kenaikan kelas (melanggar tata
tertib ujian termasuk mencontek dan bekerjasama dengan teman) sehingga berhasil
naik kelas. Ini dosa 1. Anak SD itu kembali curang ketika ujian nasional,
sehingga dia lulus. Ini dosa 2. Ketika di SMP pun ia melakukan hal yang sama,
curang saat ujian sehingga ia kembali membuat dosa 3 dan saat ujian nasional
dia kembali membuat dosa 4. Pun sama ketika SMA ia membuat dosa 5 dan 6. Saat
kuliah, tiap mid dan final testnya ia membuat dosa 7,8,9,10,11,12,13,14. Belum
lagi ketika skripsi ia memanipulasi data, “membuahtangani” dosen pembimbing
ataupun penguji dengan niat melicinkan. Jika memang si anak SD yang telah lulus
menjadi sarjana dan “alhamdulillahnya” diterima kerja di tempat yang oke, apa
pendapat anda? Jika orang itu terima gaji tiap bulannya, mungkin halal, tapi
baikkah? Ingat bahwa islam menuntun kita menggunakan rizki yang halal dan baik.
Kata “dan” disini bukan berarti salah satu, tapi keduanya sekaligus.
Untuk orang yang tak mengerti hukum, baik hukum agama maupun hukum
sosial lainya sudah pasti dia disetarakan kedudukannya seperti orang gila yang
akan dimaklumi dan dianggap tidak melanggar hukum. Kasusnya adalah ketika kita
sudah menempuh jenjang pendidikan formal bahkan hingga perguruan tinggi,
masihkah kita tutup mata dan dengan sadar diri menyamakan derajat dengan orang
gila?
So, apa kesimpulannya? Jangan curang ! Kalau kata pandji, kita harus berani mengubah. Lawan kelumrahan yang tidak baik. Kerjakan semampu kita, ukur
seberapa hebat kita. Tuhan mengajarkan kita kerja keras. Syaitan saja bersumpah
untuk kerjakeras menggoda manusia. Manusia yang dinobatkan menjadi makhluk
sempurna, hanya seperti inikah mentalnya??? Jadi, mari bekerja keras! Semua ini
berkaitan dengan mental. Akan jadi apa Bangsa ini jikalau tiap generasinya
lahir dari sebuah kecurangan ujian. Pemimpin bangsa yang lulus sekolah karena
mencontek, betapa kotornya...
Ini jelas hanya ungkapan pikiran saya yang tertuliskan. Segala sudut pandang bersumber dari saya. Jadi, memang kembali pada pribadi masing-masing, jiwa masing-masing,
dan ego masing-masing. Ada jiwa yang ingin benar tapi ego ingin mengejar nilai
tinggi. Ada pribadi yang ingin lurus tapi jiwa belum mau diajak lurus hingga
ego masih berorientasi pada hasil, bukan proses. Sejauhmana kita berproses,
sekuat apa usaha kita berproses, yakinlah itu akan berpengaruh pada hasil.
Kalaupan ada si anak SD yang hingga menempati jabatannya masih mulia dimata
manusia, masih hingar kehidupannya, mungkin itu cara Tuhan membuatnya
terlena... (Nurul)
0 komentar